Sphinx bercerita tentang kisah seorang Sutarto
yang dianggap seperti Sphinx oleh teman-teman sekelasnya. Teman-teman
sekelasnya menyebut Sutarto Sphinx karena mereka menilai wajah Sutarto datar,
kosong pandangan matanya, tak berekspresi seperti layaknya Sphinx yang ada di
Mesir. Namun pada awal cerpen terdapat kalimat yang janggal, tersebut di dalam
cerpen patung Sphinx digambarkan berkepala singa dan berbadan manusia. Jelas adanya
kepala patung Sphinx berkepala manusia dan berbadan singa, sehingga Sutarto
dijuluki Sphinx karena Sutarto berkepala manusia yang mempunyai wajah
datar-datar saja tidak berekspresi.
Sebenarnya Sutarto menjadi sedemikian rupa
sehingga menjadi seperti Sphinx disebabkan oleh temen-temannya sendiri yang
selalu saja memanggilnya Sphinx, walau sebenarnya Sutarto tidak se-Sphinx itu.
Seperti dalam cerita Sutarto yang mendapat peran prajurit yang mati, Sutarto
menjalankannya dengan baik, dia dapat berperan sesuai dengan keinginannya.
Memang Sutarto tidak banyak basi-basi dan sedikit sekali berbicara, namun bila
ditangkap dari cerita Sutarto berperan sebagai prajurit, wajah Sutarto sangat
meyakinkan sehingga semua penonton pun bertepuk tangan.
Diawali dengan seting cerita dari pelajara sejarah
yang disampaikan oleh guru sejarah yang begitu menarik, teman-teman Sutarto
jadi menyama-nyamakan Sutarto dengan patung Sphinx yang terbuat dari batu. Dari
situ tergambar sifat teman sekelas Sutarto yang suka membicarakan orang dan
berbicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang yang sedang dibicarakannya.
Sutarto pun menjadi semakin “Sphinx” karena ulah teman-teman sekelasnya itu
karena pergaulan di sekolah mempengaruhi tabiat Sutarto yang menjadi persona.
Diceritakan nilai Sutarto selalu saja sama yaitu
6, wajar saja bila ekspresi Sutarto datar saja karena nilai 6 bukanlah nilai
yang istimewa tetapi juga tidak terlalu buruk. Bila dilihat cerita dari masa
yang akan datang bahwa Sutarto menjadi seorang yang sangat sukses, nilai di
sekolah bukanlah jaminan sukses seseorang. Kesuksesan seseorang diraih dari
usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tahap yang kita maksud.
Dari cerita masa depan Sutarto, terlihat Sutarto
menjadi orang yang to the point, terlihat saat Sutarto menghadapi
wartawan-wartawan dengan sinar blitz dari kamera, jawaban-jawaban
Sutarto selalu singkat, padat, dan jelas walau sifat “Sphinx” itu masih saja
melekat. Dari cerita Sutarto yang diberondong banyak pertanyaan itu, terlihat
Sutarto berani mengambil resiko dan dapat membuat keputusan dalam situasi
terdesak, namun sifatnya menjadi sombong karena dia menganggap orang lain tidak
lebih hebat dari dirinya. Dia hanya bergaul dengan orang yang akan bermanfaat
bagi dirinya saja, dalam cerpen diceritakan Sutarto mempunyai janji dengan
Dubes Amerika.
Tokoh Umar, teman sekelas Sutarto, terlihat
pemikirannya sangat dangkal, suka menggampangkan urusan, banyak omong, iri, dan
tentunya penjilat. Tingkat ekonomi Umar pun terlaihat biasa saja, hal itu
menyebabkan Umar menjadi silau terhadap Sutarto. Umar mampu berbuat apapun demi
mencapai tujuannya, seperti mengandalkan kesuksesan Sutarto.
Istri Umar paham betul bagaimana perilaku suaminya
yang salah, tetapi sang istri diam saja dan tidak berusaha untuk mencegah agar
suaminya tidak bertindak buruk, seperti menjilat temannya sendiri. Ia
membiarkan Umar datang ke kantor Sutaro dengan maksud lain dibalik maksudnya
yang ingin bersilaturahmi.
Mengenai akhir cerpen yang mengatakan bahwa Sphinx
bunuh diri karena pertanyaannya dapat dijawab oleh Oedipus, Sutartopun
demikian, Sutarto terkesan tidak pernah ingkar janji dan selalu tepat dalam
bertindak seakan sudah tahu akan kemana niat dan maksud Umar yang tiba-tiba
datang ke kantornya dengan maksud yang tersembunyi. Dan pandangan Umar yang
tiba-tiba setelah keluar dari kantor Sutarto melihat semua orang menjadi
seperti Sphinx semua menggambarkan bahwa betapa Umar itu sangatlah berlebihan,
karena melihat orang-orang disekitarnya menjadi “Sphinx” semua adalah hal yang
tidak mungkin. Dan disisi lain tersirat bahwa Umar orang yang culas, cek yang
ia terima dari Sutarto sebesar lima juta rupiah tidak jelas ingin digunakan
untuk apa, karena sebelumnya tidak diceritakan adanya rencana diadakan reuni
sekolah mereka, dapat disimpulkan bahwa ini semua rekaan Umar yang menginginkan
kemudahan dari Sutarto.
Kesimpulan yang dapat diambil dari cerpen ini
adalah kepribadian dapat terbentuk dari lingkungan dan kebiasaan sehari-hari.
Bila keseharian seseorang itu baik, maka akan terciptalah sebuah kepribadian
yang baik pula. Pegawai negeri, dalam hal ini Umar yang menyebut dirinya Korpri,
mempunyai sifat penjilat dan terkesan memanfaatkan orang lain, terlihat jelas
saat Umar tiba-tiba melihat Sutarto di televisi dan sudah menjadi orang sukses dan
otak culasnya pun muncul seketika. Menurutnya penampilan adalah jaminan
seseorang akan dihormati atau tidak, semakin bagus penampilan seseorang maka
akan semakin dihormati dan diseganilah orang tersebut.
Cerpen-cerpen karya Umar Kayam adalah cerpen-cerpen
yang sederhana namun banyak teka-teki di dalamnya. Karena Umar Kayam sendiri
banyak bergerak dibidang budaya, karya-karyanya pun srat akan sindirian dan
kritikan sosial budaya. Namun, banyak cerpen di dalam kumpulan cerpen Parta
Krama ini terkesan menggantung dan tidak tuntas, mungkin Umar Kayam ingin para
pembaca menerka-nerka sendiri bagaimana akhir yang pas untuk cerpen-cerpennya.
Sekarang ini banyak orang yang tidak berpendidikan
tinggi, namun kesuksesannya melebihi orang yang pendidikannya tinggi. Semua itu
diraih dengan jerih payah dan usaha yang keras, tanpa bantuan orang lain pun
kesuksesan akan terasa sangat sulit diraih. Hal ini bertolak belakang dengan
cerpen Sphinx, yang menggambarkan Sutarto mampu meraih jabatan tinggi tanpa
bantuan orang lain.